TOTALITAS Mematuhi SYARIAH

***

Mari kita perhatikan Dua Pragment kisah berikut;

***
Diriwayatkan dari Abu Buraidah bahwa ayahnya pernah mengisahkan,
“Kami tengah duduk-duduk sambil minum di padang pasir. Saat itu kami bertiga atau berempat. Di hadapan kami tersaji bejana berisi minuman keras (khamr). Kami pun minum-minum menikmatinya. Tiba-tiba turunlah ayat pengharaman khamr dari Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS. Al-Maidah: 90). Kala itu ada orang yang sudah meminumnya, namun seketika itu pula ia memuntahkan khamr yang ada di mulutnya. Ada pula orang memegang khamr di tangannya, persis akan meminumnya hingga cangkir sudah menempel dibibirnya. Dicampakkanlah cangkir-cangkir saat itu juga. Dipecahkanlah bejana-bejana berisi khamr tanpa ditunda-tunda. Mereka seraya berkata: ‘Kami telah berhenti, duhai Tuhan kami, kami telah berhenti..!’.“ (Tafsir Ibnu Katsir, jilid II).

Bagi orang Arab, minum minuman keras lebih dari sekedar hobi, bahkan telah menjadi gaya hidup. Minum khamr adalah sebuah kewajiban. Bahkan warga Madinah terbiasa untuk menyimpan stok minuman keras bertong-tong dirumahnya. Tatkala turun perintah pengharaman Khamr, digambarkan seolah-olah kota Madinah banjir dengan Minuman keras karena masing-masing warga menumpahkan stok khamr yg mereka simpan ke jalan-jalan. Para sahabat begitu cepat menunaikan hukum Allah SWT. Mereka tidak menunda-nunda kepatuhan.

***
Dulu, pernah kaum wanita berkumpul bersama dengan Ibunda ‘Aisyah RA. Beliau menuturkan keutamaan wanita Quraisy dan Anshar, serta keimanannya pada wahyu yang diturunkan. Lalu, beliau menyampaikan bahwa telah turun Surat An-Nur: 31 tentang Jilbab: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …”. Pada saat yang sama, para suami segera menyampaikan ayat tersebut kepada para istrinya, anak-anak perempuannya, saudara-saudaranya perempuan, dll. Bersegeralah mereka mengambil sarung, seraya merobeknya dan menutupkannya ke seluruh tubuhnya. Ada juga yang menjadikan GORDEN, bahkan TAPLAK MEJA sebagai penutup badan dan kepalanya. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid III).

Para wanita itu tidak mempertimbangkan dulu apakah maslahat atau tidak. Tidak pernah terbetik dalam benak mereka apakah dengan mengenakan kerudung (khimar) akan mengurangi kecantikannya. Tak ada keberatan dalam hatinya. Yang ada dalam dada mereka hanyalah semangat untuk segera patuh dan taat kepada Allah SWT Pencipta mereka.

*****
Pemandangan seperti ini bukan sekedar kasus, melainkan merupakan karakter umat Islam. Sungguh pemandangan yang indah. Tak terlintas dalam pikiran mereka untuk menangguhkan penerapan hukum Allah tersebut. Mereka benar-benar memegang prinsip, sami’na wa atho’na, kami mendengar dan kami pun mematuhinya.

Bahkan, sikap yang sama mereka lakukan kala dituntut mengobankan nyawanya sekalipun. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW saat perang Uhud, ‘Bagaimana pandanganmu, wahai Rasulullah, jika aku terbunuh saat ini? Di manakah tempatku setelah mati?’ Rasulullah pun segera menjawab: ‘Engkau akan berada di surga’. Mendengar jawaban Nabi tersebut, orang itu langsung melemparkan buah-buah kurma yang ada di tangannya. Ia merangsek ke medan perang hingga gugur sebagai syuhada. Sungguh, kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasululllah yang tiada tara.

Kini, Islam telah turun sempurna. Berbagai hukum syariat telah diberikan oleh Allah Zat Maha Pemberi Petunjuk.

Wahai kaum Muslim, adakah kepatuhan total terhadap syariat dalam diri kita sebagaimana para sahabat? Ataukah, kesenangan dunia telah menjerat umat ini hingga lebih takut kepada manusia dan abai kepada Pencipta manusia? []

by Fahrur Rozi
Media Islam Online 

Kesempurnaan Syariah Islam

Islam datang dengan membawa seperangkat hukum yang komprehensif untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi

pada manusia, kapanpun dan di manapun. Tentang kesempurnaan syariah Islam ini, ditegaskan sendiri oleh Zat Yang

Maha sempurna. Karena itu, sekecil apapun mustahil ada kekurangan di sana-sini. Allah SWT berfirman:

]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِينًا[

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

Kesempurnaan agama adalah kesempurnaan penjelasan menurut yang dikehendaki Allah SWT, sang Pemilik agama. Kesempurnaan itu terjadi, tentu setelah diturunkan hukum-hukum terkait akidah, sehingga tidak ada alasan bagi kaum Muslim untuk tidak mengetahuinya; setelah menjelaskan hukum-hukum tentang kaidah hukum Islam dengan perkataan dan perbuatan; serta setelah menjelaskan hukum-hukum seputar muamalah dan dasar-dasar sistem Islam (Ibnu Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, VI/102).

Oleh karena itu, Allah SWT menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan manusia, baik yang terkait hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semuanya telah dijelaskan dalil-dalilnya di dalam al-Quran (QS an-Nahl [16]: 89).

Hal ini pun dikuatkan lagi oleh kaidah bahasa Arab, yakni apabika kata “kull[un]” itu di-mudhaf-kan atau disandarkan pada isim nakirah (kata benda tidak tentu), maka maksudnya adalah istighrâq, yaitu mencakup segala jenis sesuatu (Al-Khathib, al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-I’râb, hlm. 351). Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan, dan tidak pula benda, kecuali Allah telah menjelaskan dalil-dalil hukumnya, termasuk dalil kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Dengan demikian, siapa saja-setelah memahami kedua ayat tersebut-yang mengatakan, bahwa ada sebagian perbuatan, benda atau fakta yang sama sekali tidak ada dalil hukumnya menurut syariah, maka dengan perkataannya itu sungguh ia telah menghina dan melecehkan kesempurnaan syariah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84; Abdullah, Dirâsât fi al-Fikr al-Islami, hlm. 11).

Wajib Terikat dengan Syariah
Kesempurnaan syariah itu tidak akan berarti apa-apa bagi manusia tanpa adanya keterikatan dengannya.

Karenanya, Allah memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah menafikan keimanan mereka yang tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. ini (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Peniadaan keimanan dari mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw dengan sabdanya:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ»

Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahih-nya).

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Jika keimanan itu tidak akan diraih hingga seorang hamba tunduk dan berserah kepada Rasulullah saw., menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang beliau bawa, menjadikan Rasulullah dan jihad didahulukan mengalahkan cintanya kepada diri, harta dan keluarganya, maka bagaimana terkait dengan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT?” (Ibnu Taimiyah, Maj’mû’ al-Fatâwa, X/287).

Oleh karena itu, jika seorang Muslim hendak melakukan perbuatan apapun, ia wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan perbuatan tersebut. Jika seorang Muslim hendak mengambil atau memberikan sesuatu apapun, ia pun wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan sesuatu tersebut. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau memanfaatkan sesuatu apapun di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84).

Hukum Asal Perbuatan

Hukum syariah adalah seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) yang berkaitan dengan perbuatan (af’âl) manusia. Seruan itu datang untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu (asyyâ’). Ketika seruan itu datang untuk sesuatu, maka itu disebabkan bahwa sesuatu itu berhubungan erat dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, hukum asal seruan ditujukan untuk perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu. Dalam hal ini sama saja, ada seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) tanpa menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:

] كُلُوا وَاشْرَبُوا[

Makan dan minumlah (QS al-Baqarah [2]: 60).

Ada juga seruan yang datang untuk sesuatu (asyyâ’) tanpa menyebutkan perbuatan (af’âl)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:

]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ[

Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi (QS al-Baqarah [2]: 60).

Hukum haram pada ketiga benda ini tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia yang berhubungan dengan benda itu seperti memakannya, menjualnya, membelinya dan perbuatan manusia lainnya yang berhubungan dengan benda-benda itu.

Ada juga seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) dengan menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya, seperti firman Allah SWT:

] لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا[

Agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar (ikan) (QS an-Nahl [16]: 14).

Seruan pada ayat-ayat di atas, semuanya ditujukan untuk perbuatan manusia. Mengingat seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) itu tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia, maka di sinilah ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal perbuatan manusia, yaitu:

الأَ صْلُ فِي الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ

Hukum asal setiap perbuat manusia itu terikat dengan hukum syariah.

Artinya, hukum asal semua perbuatan manusia itu adalah memiliki hukum syariah yang wajib dicari dari dalil-dalil syariah sebelum melakukan perbuatan. Sebab, tujuan dari melakukan perbuatan itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun diterimanya ibadah itu harus memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allah dan kesesuaiannya dengan hukum syariah (Al-Badrani, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, hlm. 221).

—————————————————————————————————————————————————

Hukum Asal Benda

Sesuatu/benda (asyyâ’) bukanlah perbuatan (af’âl). Sesuatu (asyyâ’) adalah benda atau materi yang digunakan manusia dalam menjalankan perbuatannya. Perbuatan (af’âl) adalah apa yang dilakukan manusia, baik berupa aktivitas maupun perkataan untuk memenuhi kebutuhannya (Ismail, al-Fikr al-Islâmi, hlm. 35).

Hukum yang terkait dengan sesuatu/benda itu datang melalui dalil umum yang menjelaskan hukum perbuatan. Adapun dalil yang datang secara khusus untuk sesuatu/benda, maka itu merupakan pengecualian atas dalil umum tersebut. Sebab, tuntutan melakukan (thalab al-fi’l) atau memilih (at-tahyîr) itu mencakup setiap sesuatu, dan setiap sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan itu adalah mubah (halal). Karena itu, mengharamkan sesuatu dari sesuatu-sesuatu itu butuh pada nash atau dalil, misalnya firman Allah SWT:

]وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ[

Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari Allah (QS al-Jatsiyah [45]: 13).

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap sesuatu/benda yang ada di langit dan di bumi, yang Allah ciptakan untuk manusia, semuanya adalah mubah (halal).

Dari sini maka ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal sesuatu/benda, yaitu:

الأَ صْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ

Hukum asal setiap sesuatu/benda adalah mubah (halal) selama belum ada dalil yang mengharamkannya.

Dalam hal ini al-Qaradhawi berkata, “Dalam syariah Islam arena atau wilayah haram-terkait sesuatu-sangatlah sempit sekali. Sebaliknya, arena atau wilayah halal malah sangat luas sekali. Sebab nash-nash sahih dan tegas yang mengharamkan sesuatu jumlahnya sangat sedikit sekali. Adapun sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah (halal), dan masuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.” (Al-Qaradhawi, Al-Halâl wal Harâm fil Islâm, hlm. 20).

Dengan adanya ketetapan undang-undang seperti ini, maka tidak akan pernah terjadi kasus-kasus seperti yang dialami para TKW selama ini. Sebab, negara yang berkewajiban menjaga keterikatan setiap warga negaranya terhadap syariah tidak akan membiarkannya melakukan perbuatan yang di dalamnya ada pelanggaran terhadap syariah Islam, sekalipun perbuatan itu mendatangkan devisa atau manfaat lainya bagi negara. Sebab, halal-haram merupakan satu-satunya tolok ukur yang digunakan negara dalam mengatur roda pemerintahannya.

Wallâhu a’lam bish-shawâb.

Al-Badrani, Izzuddin Hisyam bin Abdul Karim, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, tanpa penerbit, tanpa tahun.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Asma Al Khilafah