PASAL I: MENIMBANG ISTILAH DEMOKRASI DENGAN AL-ISLAM & PERINCIANNYA

Inilah Serangkaian Artikel dari:
“PROPOSAL GUGATAN ISLAM DAN PARA PEJUANG IDEOLOGI ISLAM ATAS DEMOKRASI NIZHAM KUFR & PARA PENDUKUNGNYA”

MUKADIMAH: 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisaa’ [4]: 59)

Dalam kajian penggalian hukum Islam (istinbath al-hukm) dalam ilmu ushul fiqh, ada tiga hal yang penting:
1. Fahmul Waaqi’ (Tahqiiq al-manath); yakni memahami objek fakta yang dihukumi (manath al-hukm).. Diantaranya memahami definisi Demokrasi dari asal-usulnya, asal-usul Demokrasi, asas akidah yang mendasari Demokrasi maupun pemahaman terhadap perkara-perkara cabang yang lahir dari Demokrasi.

2. Fahmusy Syar’i (Istidlal); memahami penggalian dalil-dalil syara’ sebagi sumber hukum (mashdar al-hukm). Sumber hukum Islam yang disepakati adalah: al-Qur’an, al-Sunnah, dan yang ditunjukkan keduanya yakni Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’iyyah.

3. Mengaitkan antara fakta sebagai objek yang dihukumi (manath al-hukm) dan dalil-dalil syari’at sebagai mashdar al-hukm (sumber hukum).


Coba lihat penjelasan para ulama ushul tentang hal-hal di atas, karena ketiganya sangat urgen dalam istinbath al-hukm. Meskipun hanya salah memahami fakta Demokrasi, atau salah dalam memahami dalil-dalil syara’, fatalnya bisa mengakibatkan kesalahan dalam menghukumi Demokrasi min wijhatin nazhr al-Islaam. Maka, kami tak melihat orang per orangan yang menghalalkan Demokrasi, kecuali kesalahan mereka ada di antara ketiga hal di atas! Termasuk yang menimpa sebagian orang yang dianggap berilmu oleh sebagian orang; salah dalam memahami fakta-fakta Demokrasi sebagai objek yang dihukumi.

اللّهمّ أرنا الحقّ حقّا وارزقنا اتّباعه، وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
“Yaa Allaah, perlihatkanlah pada kami bahwa yang haq itu adalah haq dan karuniakanlah kepada kami kekuatan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami kekuatan untuk menjauhinya.” 

  • TAHQIIQ AL-MANATH: MEMAHAMI FAKTA “ISTILAH DEMOKRASI”
  • KAIDAH/PRINSIP ISLAM DALAM MENGADOPSI ISTILAH
  • MENIMBANG ISTILAH DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
  • PENYESATAN POLITIK DI BALIK ISTILAH
  • MENYUARAKAN PRO DEMOKRASI = TASYABBUH BIL KUFFAR DAN MEMBUKA JALAN KEPADA KAUM KUFFAR UNTUK MENGUASAI ORANG-ORANG MUKMIN

Sebelum saya paparkan penjelasan para ‘ulama rahimahumullaah tentang fakta-fakta kekufuran Demokrasi lainnya. Saya akan mengawali pembahasan ini dengan pemahaman terhadap istilah Demokrasi, apakah ia MENGANDUNG PERADABAN (HADHARAH[1]) TERTENTU atau tidak? Pasalnya, ada sebagian kaum muslimin yang terjerembap mengadopsi istilah Demokrasi dengan dalih bahwa istilah ini dapat dimaknai dengan makna yang lebih Islami. Menurut pendapat syadz ini, Demokrasi dalam pengertian “vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan)” memang harus ditolak. Akan tetapi, jika Demokrasi ini diberi muatan makna-makna yang Islami, misalnya diistilahkan teodemokrasi/demokrasi teistik, maka mengadopsi istilah ini –menurut pendapat syadz- diperbolehkan, selama maknanya disejalankan dengan Islam. Apakah bisa dibenarkan? Termasuk mereka-mereka yang salah besar memakai istilah Demokrasi, dan menghalalkannya seakan-akan ia bagian dari mu’amalah/al-‘ibadah ghayr al-mahdhah yang mereka anggap halal dengan suatu kaidah. Mari kita kaji bagaimana Allah dan Rasul-Nya menunjukkan pada kita cara mengadopsi sebuah istilah, bi syarhil ‘ulama’.

TAHQIIQ AL-MANATH: MEMAHAMI FAKTA “ISTILAH DEMOKRASI”
Definisi merupakan deskripsi realitas yang bersifat Jâmi’ (komprehensif) dan Mâni’ (protektif). Artinya, definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan. Inilah gambaran mengenai definisi yang benar. Kesalahan mendefinisikan, bisa berimbas pada kesalahan pemahaman, dan akhirnya berujung pada kesalahan dalam penyikapan.

DEFINISI DEMOKRASI

  • Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata : demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Lebih dikenal dengan istilah Kedaulatan Rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”.
  • Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), dalam bahasa arab diistilahkan;

أَعْطِ مَا لِقَيْصَرَ لِقَيْصَرَ وَ مَا لِلّهِ لِلّهِ[3]

Jadi, jelas Demokrasi bukan istilah syar’i (non syar’iyyah), karena istilah ini berasal dari bahasa Yunani (filsafat Yunani) dan realitas istilah ini tak pernah disebutkan dalam teks ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hadits. Meminjam istilah Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqah al-Diimuqraathiyyah, Demokrasi;
….ذات الأصل غير العربي 

Maka, jelas definisi ini pun harus dikembalikan kepada definisi asalnya (Yunani) sehingga paling sesuai dengan faktanya. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara semacam ini, prinsip suara mayoritas pun tidak berlaku.[4] Karena apabila diberlakukan, bisa dibayangkan akan membuka kesempatan kepada orang-orang yang rusak akidah dan pemahamannya untuk mengaburkan makna-makna istilah untuk menimbulkan kerancuan dalam pemahaman Islam. Semisal istilah sesat menyesatkan “Islam Liberal”.

Dari definisi di atas, bisa kita takar dengan konsep Islam dalam mengadopsi istilah. Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana tatacara mengadopsi istilah.

KAIDAH/PRINSIP ISLAM DALAM MENGADOPSI ISTILAH
Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’inaa”, tetapi Katakanlah: “Unzhurnaa”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah [2]: 104)

Raa’inaa bermakna “sudilah kiranya kamu memperhatikan (urusan) kami”. Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah saw, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa’inaa Padahal yang mereka katakan ialah Ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah ‘azza wa jalla memerintahkan para sahabat menukar istilah Raa’inaa dengan Unzhurnaa yang juga sama artinya dengan Raa’inaa.

Ayat ini menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwa Allah melarang orang-orang beriman untuk menggunakan istilah raa’inaa dan memerintah mereka untuk menggunakan istilah baru, yakni unzhurnaa. Secara bahasa, raa’inaa dan unzhurnaa bermakna sama, “Perhatikan urusan kami yaa Rasulullah.” Akan tetapi, kata raa’inaa ini kemudian dikaburkan maknanya oleh orang Yahudi dan disepadankan dengan kata ru’unah (bebal, goblok). Kata raa’inaa akhirnya menyerupai kata ru’unah. Selanjutnya Allah melarang penggunaan kata raa’inaa. Sehingga, sejak itu para sahabat tidak lagi menggunakan istilah itu di hadapan Rasulullah saw. Ayat ini, berlaku umum bagi orang-orang beriman, termasuk ketika orang-orang beriman dihadapkan dengan istilah DEMOKRASI, sesuai kaidah syar’iyyah yang raajih:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”[5]

Contoh penerapan prinsip Islam dalam mengadopsi istilah ini, bisa kita rujuk dalam kitab Nizhaam al-Islaam buah tangan al-‘Allaamah al-Imam Taqiyuddiin al-Nabhani rahimahullaah, tentang istilah “al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah (keadilan sosial)” yang diharamkan penggunaannya karena ternyata mengandung makna peradaban Sosialisme/Komunisme (al-Syuyuu’iyyah).

MENIMBANG ISTILAH DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Setelah memahami fakta definisi Demokrasi, ditimbang dengan kaidah/prinsip ajaran Islam dalam mengadopsi sebuah istilah, jelas istilah Demokrasi yang lahir dari filsafat Yunani; yang menyatakan bahwa rakyat/manusia yang berdaulat (termasuk berdaulat dalam membuat hukum (fungsi legislasi) yang diterapkan dalam sistem parlementer Demokrasi di Indonesia), bertentangan secara diametral dengan tuntutan akidah dan syari’at Islam yang menjadikan kedaulatan di tangan al-Syaari’ (al-siyaadah lisy syar’i). Diantara asas politik Islam –yang membedakannya dengan sistem Demokrasi- adalah menjadikan kedaulatan di tangan syara’ (السيادة للشرعي), artinya menjadikan Islam (akidah dan syari’at Islam) sebagai acuan menggelar kehidupan bermasyarakat, acuan hukum/peraturan dalam segala aspek kehidupan, halal-haram sebagai standar perbuatan, bukan akal (ra’yu) manusia yang serba terbatas. Hal ini berdasarkan tuntutan Allah yang qath’iy, menegaskan dalam banyak ayat-ayat-Nya yang mulia serta melalui lisan Rasul-Nya dalam al-hadiits al-syariif (penulis rinci dalam pembahasan selanjutnya) dan ditunjukkan secara marwiy dalam kehidupan masyarakat Islam (al-Dawlah al-Islaamiyyah) di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. Salah satu hujjah argumentasi syar’i kedaulatan di tangan al-Syaari’, ditegaskan Allah Ta’ala,

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Qs. Al-An’aam [6]: 57)

Ayat ini secara qath’iy (tegas, jelas) menunjukkan bahwa Allah yang berhak membuat hukum, ini adalah salah satu hujjah tawhiid uluuhiyyah. Dan bagi mereka yang mengingkarinya, ingatlah peringatan-Nya;

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 44)

Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan, “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”

Lantas, apakah bukti fakta Demokrasi dan perintah Allah untuk selektif dalam mengadopsi istilah belum cukup menyadarkan Anda?

“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”  
(QS. Ibraahiim [14]: 52) 

Ihsan Samarah dalam kitab Mafhuum al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah fii al-Fikr al-Islaamiy al-Ma’ashir menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan bahwa istilah-istilah yang memiliki makna tertentu, atau diserupakan (tasyabbuh) dengan makna yang bertentangan dengan Islam, atau dapat berakibat melecehkan Rasulullah saw, HARAM hukumnya diadopsi.

Maka tak ada kesamaran, penggunaan istilah “demokrasi” yang disandingkan dengan istilah “islam” adalah penggabungan yang sangat aneh (syadz). Bukankah itu suatu bentuk kesalahan yang nyata? Di dalamnya terjadi pencampuradukan dua konsepsi yang sebenarnya bertentangan. Tidak bisa dikatakan bahwa demokrasi di sini hanya merupakan kata serapan yang bisa saja dipakai untuk mensifati sebuah karakter. Misalnya pernyataan dengan logika filsafat sesat:

Premis Mayor:
Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab adalah seorang pemimpin negara yang “aspiratif”
Premis Minor:  
Pemimpin aspiratif adalah pemimpin demokratis
Konklusi:  
Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab adalah pemimpin demokratis

Simpulan ini pada akhirnya, meluas pada simpulan logika filsafat bahwa Negara Islam adalah Negara Demokratis. Maka dari itu, demokrasi mereka anggap merupakan karakter asli dari pemerintahan islam. Na’uudzubillaahi min dzaalik…

Padahal jika dikembalikan kepada makna asal Demokrasi, pemerintahan Umar bin al-Khaththab tidak bisa disebut demokratis, sebab Umar bin Khaththab r.a. tidak menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai sumber hukum. Beliau menjalankan pemerintahannya dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Sunah sebagai rujukan, al-Qur’an dan al-Sunnah yang berdaulat, sebagai dasar negara dan sumber konstitusi. Coba tanya kepada dunia dan ahli politik Demokrasi (yang jujur dengan pemahamannya), “Apakah kepala negara yang secara mutlak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunah sebagai sumber hukum (bukan kehendak rakyat, bukan HAM) dapat disebut negara yang demokratis?” Mereka justru akan mengatakan: “Mana bisa negara yang memutlakkan otoritas “wahyu” yang diyakini oleh penganut agama tertentu bisa disebut negara demokrasi? Pemerintahan seperti itu “kaku (konservatif)” jelas tidak demokratis, karena tidak menghargai kebebasan”.

PENYESATAN POLITIK DI BALIK ISTILAH
Munculnya istilah-istilah; Islam Liberal, Islam Radikal vs Islam Moderat, Muslim Fundamentalis, dan lain sebagainya, adalah bukti stigmatisasi negatif yang massif dilancarkan kaum kuffar dan antek-anteknya di Indonesia. Istilah-istilah di atas (termasuk istilah Demokrasi) tidak pernah keluar dari lisan yang mulia Rasulullah saw, ataupun dari para ‘ulama rabbani pewaris nabi, melainkan keluar dari lisan orang-orang yang memusuhi Islam dan kaum muslimin, diperpanjang oleh lidah orang-orang yang mengaku muslim namun dicuci otaknya dan berwala’ pada Amerika dan sekutunya (muharriban fi’lan), atau sebagian kaum muslimin yang serampangan menghalalkan Demokrasi dan tidak menyadarinya.

Sebagai contoh istilah “Muslim Radikal/Fundamentalis” yang dicitrakan semakna dengan teroris = para pejuang Islam yang memperjuangkan syari’ah dan dawlah Islam. Sebagaimana dicitrakan cukup massif oleh sebagian media massa dan Pemerintah Indonesia (SBY, Bambang Hendarso Danuri (mantan pimpinan tertinggi POLRI)). SBY dan Partai Demokrat selama ini gencar menyuarakan Demokratisasi di Indonesia. Di sisi lain, SBY yang selama ini didukung oleh partai-partai yang berbasis massa Islam pun menunjukkan wala’-nya kepada kaum kuffar (Amerika dan sekutunya). Ketika pilpres 2009 di dukung Australia karena dinilai sukses dalam kerjasama anti terorisme, pejabat Kementrian Luar Negeri Australia untuk Urusan Asia Tenggara, Peter Woolcott mengungkapkan, “…Yudhoyono telah memberikan kerjasama tingkat satu dalam anti terorisme.”[6] Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi, MA, mengungkapkan bahwa istilah radikalisme sengaja digagas oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.[7]

Sebaliknya, “Islam Moderat” yang selama ini dijunjung tinggi dan dicitrakan positif oleh Barat, orientalis diantaranya bercirikan memiliki pandangan dan sikap mendukung Demokrasi. Graham E. Fuller dalam bukunya, Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation, mengidentifikasi bahwa pandangan non-Muslim melihat moderat diantaranya yaitu mereka yang meyakini prinsip Demokrasi. Jadi, benarkah penyataan mereka yang pro Demokrasi bahwa, “Pendapat bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi sehingga haram untuk diikuti tidak ada landasan dalam ajaran Islam. Dr. Ali Mustafa juga berpendapat bahwa opini ini berasal dari musuh-musuhnya Islam, termasuk kaum Zionis. Mereka sangat inginkan agar umat Islam tinggalkan demokrasi sehingga bisa dipecah-belahkan dan menjadi lemah.” Ini adalah pernyataan yang disadari atau tidak, jelas memutarbalikkan fakta. Tak samar bagi kita, bukti-bukti yang berbicara, ditimbang dengan petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya! Maha Benar Allah yang menunjukkan sifat kebencian Yahudi dan Nasrani terhadap kita. Mereka terbukti gencar mengkampanyekan dan menyebarkan Demokratisasi, di sisi lain menunjukkan sikap permusuhan yang nyata kepada Islam dan kaum muslimin Ideologis yang notabene antidemokrasi, tidak ada keraguan.

Dengan demikian, orang-orang yang memaksakan diri agar istilah Demokrasi diakui dalam Islam (misalnya menghalalkan Demokrasi yang kufur dengan alasan musyawarah Demokrasi sama dengan syuuraa’ dalam Islam), disadari atau tidak telah ikut ambil bagian dalam upaya menginfiltrasi istilah-istilah kufur ke dalam istilah-istilah Islam, atau menyelaraskan nash-nash syari’ah terhadap realitas sekular, yang akhirnya mereduksi sebagian atau keseluruhan pemahaman Islam (destruktif).

MENYUARAKAN PRO DEMOKRASI = TASYABBUH BIL KUFFAR DAN MEMBUKA JALAN KEPADA KAUM KUFFAR UNTUK MENGUASAI ORANG-ORANG MUKMIN
Lantas, bagaimana mungkin Anda menggabungkan istilah Demokrasi dengan Islam? Padahal makna dan penerapannya jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan akidah dan syari’at Islam –meskipun telah dibumbui dengan istilah-istilah Islam-, ibarat batilnya orang yang mengatakan “Islam Liberal”. Ironisnya, berbeda dengan kisah dalam QS. Al-Baqarah: 104; kaum Yahudi yang memalingkan istilah perkataan para sahabat radhiyallaahu’anhum dengan istilah yang melecehkan Rasulullah saw, kini justru sebagian kaum muslimin sendiri yang disadari atau tidak menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dan -disadari atau tidak- dimanfaatkan musuh-musuh Islam yang giat menyesatkan umat ini dengan mengaburkan istilah-istilah Islam dan menginfiltrasi istilah-istilah kufur yang tujuannya agar umat ini tunduk di bawah millah, ideologi kufur mereka. Allah telah memperingatkan kita,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(QS. al-Baqarah [2]: 120)

Fakta yang tak bisa dibantah pun berbicara, bahwa seruan atau slogan Demokratisasi selama ini gencar diserukan dan dilantun-lantunkan Amerika dan sekutu-sekutunya, termasuk sebagian umat Islam yang dicuci otaknya, ibarat lantunan lagu yang terdengar merdu, namun hakikatnya merusak pendengaran dan membutakan penglihatan. Apa yang dikatakan Amerika ketika mereka menginvasi dan membantai kaum muslimin di Irak, di Afghanistan? Termasuk slogan yang seringkali dilantunkan Amerika untuk menintervensi negeri-negeri kaum muslimin (termasuk Indonesia)? DEMOKRATISASI. Padahal Allah menegaskan,

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.(QS. al-Nisaa’: 141)

Berdasarkan ayat di atas, para ‘ulama menjelaskan keharaman segala perbuatan, perkataan atau wasilah yang membuka jalan kepada kaum kuffar untuk menguasai orang-orang mukmin, termasuk upaya-upaya menghalalkan Demokrasi dan mengusungnya. Ditegaskan dalam kaidah kulliyat (ushul fiqh);
اَلْوَسِيَْلةُ إِلى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
“Sarana yang mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram”[8]

Maka, apabila ada di antara kaum muslimin yang latah menyerukan seruan atau slogan jahiliyyah “Demokratisasi”, sesungguhnya ia telah jatuh ke dalam kubangan tasyabbuh bil kuffar. Padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan tasyabbuh bil kuffar;

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. al-Maaidah [5]: 51)

Dr. Nashr bin Abdul Karim menjelaskan, “Al-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. Al-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meiru dan mengikutinya.” [9]

Al-‘Alim al-Syaikh ‘Abdurrahman al-Baghdadi menjelaskan bahwa “tasyabbuh” (menyerupai) dalam hadits tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata “suatu kaum”. Ini adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan akidah, ibadah, nikah, adat kebiasaan, hidup bebas, dan lain sebagainya.

Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Qur’ân dan al-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka. [10]

Rasûlullâh r memberitakan kepada kita dengan kabar yang pasti benar dan tidak mungkin keliru, bahwa sebagian umat ini pasti akan mengikuti jejak orang-orang terdahulu dari umat lain. Hadits mengenai hal ini merupakan hadits shahîh, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Shahîh dan kitab-kitab Sunan.
لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ  دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍِّ لَدَخَلْتُمْ
“Kamu pasti akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun kamu pasti akan mengikutinya.” (HR. Hâkim dari Ibn al-‘Abbas)[11]

Hadits di atas, menyatakan celaan yang tegas, yang menunjukkan keharaman mengambil dan mengikuti gaya hidup orang kafir, sekaligus menunjukkan bahwa Islam mempunyai gaya hidup yang unik.[12]

Begitu pula hadits-hadits lainnya yang sampai pada derajat jazm (pasti). al-Sunan (jalan atau jejak) yang dikabarkan Nabi seperti kata para ahli ilmu, meliputi aqidah, ibadah, hukum, adat kebudayaan, tingkah laku, dan hari-hari besar atau perayaan-perayaan. Yang dimaksud dengan umat-umat sebelumnya, dari beberapa keterangan hadits-hadits lain dari Nabi, secara singkat dinyatakan, bahwa mereka itu adalah bangsa Persia dan Romawi. Ada pula yang menyatakan bahwa mereka itu adalah dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Juga, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir secara mutlak. Bahkan, ada yang menafsirkan bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Nash-Nash tersebut saling mendukung antara satu dengan lainnya.[13]

غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
“Ubahlah warna bulu uban kalian dan jangan menyerupai orang-orang yahudi.”
(HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Nasa’i. Hadîts Hasan Shahîh)

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” 
(HR. Abû Dawud)

Dengan ber-tasyabbuh terhadap orang kafir, maka seorang muslim akan mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Padahal dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangat keras, sebagaimana Allâh berfirman,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” 
(QS. al-Nisâ’: 115)

Oleh karena itu, umat Islam harus selektif dalam mengadopsi sebuah istilah. Jika dibebaskan begitu saja, menggunakan logika kaidah yang sama dengan “Demokrasi Islami” atau “Teodemokrasi”, bukan hal yang mustahil jika umat tak dipahamkan dengan al-Islam, mereka akan menerima istilah-istilah sesat semisal “Islam liberal”, “atheisme Islam”, “kapitalisme Islam”, “pluralisme Islam”, “marxisme Islam”, “sosialisme Islam” dan lain sebagainya. Na’uudzubillaahi min dzaalik.

Khulaashatul Qawl, sungguh nyata kebatilan istilah Demokrasi ditimbang dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Beruntung lah orang-orang yang menyambut seruan-Nya dan bersyukur pada-Nya dengan menjauhi taqlid buta dan berpikir Islami, sungguh batil istilah Demokrasi, Teodemokrasi, Demokrasi Islami atau yang semisalnya. Islam adalah konsep yang khas dan unik dari Allah SWT, begitu pula Demokrasi adalah sistem politik yang khas lahir dari Ideologi kufur di luar Islam! Lantas, siapa yang akan Anda ikuti? Allah dan Rasul-Nya? Atau ideologi kufur dan para penganutnya? Yaa Allah, saksikanlah telah kami sampaikan… Allaahu ghaayatunaa… Min fadhlik, sebarkan artikel ini!
يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Mudah-mudahan Allah berkenan memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki keadaanmu.” (HR. Tirmizi, Ahmad & Abu Dawud) 

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[14] ialah ucapan. “Kami mendengar, dan Kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. Al-Nuur [24]: 51-52)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfaal [8]: 24) 

[]

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (QS. Ali ‘Imraan [3]: 8) 

اللّهمّ أرنا الحقّ حقّا وارزقنا اتّباعه، وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
“Yaa Allaah, perlihatkanlah pada kami bahwa yang haq itu adalah haq dan karuniakanlah kepada kami kekuatan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami kekuatan untuk menjauhinya.”

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan-Mu, sedang aku mengetahuinya dan aku memohon ampunan-Mu terhadap apa yang tidak aku ketahui.”[15] 

و الله أعلم بالصواب
إنتهى

[1] Majmuu’ al-Mafaahiim ‘an al-Hayaat, dalam Kitab Mafaahiim Hizb al-Tahriir karya Imam Taqiyuddiin al-Nabhani.

[2] Dari berbagai sumber.

[3] Lihat: Nizhaam al-Islaam (hlm. 71), Imam Taqiyuddin al-Nabhani.

[4] Imam Taqiyuddiin al-Nabhani,  Muqaddimah al-Dustuur, hlm. 116-117, thn. 1963.

[5] Kaidah ini merupakan kaidah yang diistibath dari dalil-dalil syara’, sudah disepakati oleh jumhur ‘ulama.

[6] Dalam bocoran WikiLeaks yang dimuat harian Sydney Morning Herald (15/12/2010); dalam majalah Al-Wa’ie.

[7] Hidayatullah.com; dalam al-Wa’ie no. 126, thn. XI, 1-28 Februari 2011.

[8] Muqaddimah al-Dustûr, hlm. 86. Karya Imam Taqiyuddin al-Nabhani (1953).

[9] Lihat: Man Tasyabbaha bi Qawmin fa Huwa min Hum, Syaikh Nashr bin Abdul Karim Al-‘Aql..

[10] Syaikh Nashr bin Abdul Karim menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik aqidahnya, adat-istiadatnya, peribadatannya, dan hal itu tidak bertentangan dengan nash-nash serta prinsip-prinsip syari’at, atau tidak dikhawatirkan akan membawa kepada kerusakan, maka tidak termasuk tasyabbuh. Inilah pengertian secara global.

[11] Dalam al-Jâmi’ al-Shaghîr.

[12] Lihat penjelasan dalam Islam Politik Spiritual, hlm. 7.

[13] Syaikh Dr. Nashr bin Abdul Karim Al-‘Aql, dalam kitab Man Tasyabbaha bi Qawmin fa Huwa min Hum.

[14] Maksudnya: di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin.

[15] HR. Ahmad dan imam yang lain (4/403). Lihat: Shahîh al- Jâmi’ (3/233).

Lihat juga:
PASAL II: MENIMBANG KAIDAH & ASAS-ASAS DEMOKRASI DENGAN AL-ISLAM

1 Komentar

  1. insidewinme said,

    April 15, 2012 pada 3:41 am

    Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.


Tinggalkan komentar